Apa itu Kerjasama Antar Desa?
Kerjasama antar desa merupakan salah satu bentuk kerjasama desa. Kerjasama ini dilakukan oleh satu desa dengan desa lain. Sebenarnya kerjasama antar desa sudah dilakukan turun temurun. Kerjasama untuk saling mensuplai bahan makanan dari satu desa ke desa lain, sampai sekarang terus berjalan. Saling menjaga dan merawat jalan antar desa pun merupakan bentuk kerjasama antar desa.
Kerjasama ini dilakukan karena sama-sama memiliki kepentingan. Masyarakat desa sadar sepenuhnya bahwa mereka tak bisa hidup sendiri. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karenanya, kerjasama ini dilakukan. Tentu kerjasama yang dilakukan antar desa ini tidak boleh merugikan masing-masing pihak.
Jaman dahulu, warga sebuah desa mau bergotong royong memperbaiki saluran irigasi di desa lain. Sebab mereka tahu, rusaknya saluran irigasi di desa lain akan mengurangi suplai air ke sawah-sawah garapan mereka juga. Warga desa tidak terlalu mempedulikan apakah kerusakan itu terjadi di desa nya atau tidak. Yang penting urusan bersama bisa diselesaikan.
Mengawali Kerjasama Antar Desa
Terciptanya kerjasama antar desa pasti melalui sebuah proses. Kesadaran akan kepentingan yang sama membuat isu ini menjadi bahan diskusi masyarakat. Diskusi-diskusi ini akan mengambil sebuah kesimpulan, perlunya kerjasama antar desa atau tidak.
Proses kerjasama antar desa jaman dulu lebih sederhana. Cukup berdasarkan obrolan-obrolan ringan, masyarakat baik bersama Lurah (sebutan untuk Kepala Desa) atau pun tidak, bisa segera memutuskan. Mereka pun akan mempertimbangkan keterlibatan Lurah atau tidak dalam urusan ini.
Seiring berjalannya waktu, dan munculnya kekuasaan administratif, kerjasama antar desa menjadi sedikit lebih panjang prosesnya. Pengenalan model kerjasama antar desa diawali dengan sebuah program. Ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi, dan masih terpatri dalam ingatan masyarakat.
Setelah dilakukan identifikasi kesamaan kepentingan, Desa mengadakan musyawarah desa. Musyawarah desa ini dilakukan di masing-masing desa yang hendak bekerjasama. Gagasan munculnya kerjasama antar desa bisa bermula dari siapa saja.
Sebelum melangkah lebih jauh, gagasan ini di bahas bersama oleh para Kepala Desa yang hendak bekerja sama. Apa-apa yang mesti dikerjasamakan termasuk konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Hasil musyawarah di masing-masing desa dibawa ke dalam forum Musyawarah Antar Desa. Pertemuan ini dilakukan oleh masing-masing desa dengan membawa delegasi. Jumlah delegasi dan unsur keterwakilannya disepakati oleh masing-masing desa yang akan bekerjasama. Sangat dianjurkan, delegasi yang dibawa disesuaikan dengan bidang yang akan dikerjasamakan.
Musyawarah Antar Desa
Forum bertemunya para delegasi desa bernama Musyawarah Antar Desa (MAD). Pada forum ini dibicarakan semua yang berkaitan dengan kerjasama antar desa. Pimpinan musyawarah ditentukan oleh peserta. Segala keputusan nantinya sedapat mungkin diambil dengan musyawarah mufakat.
Seperti halnya musyawarah desa, MAD merupakan lembaga tertinggi dalam mengambil keputusan. Semua hasil musyawarah mesti disosialisasikan dan dijalankan oleh pihak-pihak yang menyatakan bekerjasama. Termasuk keputusan untuk tidak melanjutkan rencana kerjasama antar desa.
Proses pengambilan keputusan dalam MAD merupakan sarana pembelajaran. Peserta musyawarah diberi kesempatan untuk berdiskusi dan belajar memahami satu sama lain. Bisa saja terjadi silang pendapat bahkan sampai terjadi kebuntuan. Ini bagian dari pendewasaan masyarakat. Meski diharapkan tidak terjadi kebuntuan.
Jika terjadi kesepakatan kerjasama antar desa, maka hasil keputusan MAD dapat dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa. Yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan Kepala Desa, sehingga keputusan ini mengikat di masing-masing desa.
Konvensi dan Konstitusi
Sejenak kita hilangkan imajinasi proses kerjasama antar desa yang cukup rumit itu. Sejatinya proses kerjasama antar desa bisa lebih sederhana.
Untuk urusan pembagian air irigasi misalnya. MAD tak harus dilakukan dalam ruangan. Para Kepala Desa dan BPD bisa membicarakan hal ini di pinggir sawah. Kepesertaan musyawarah pun yang penting merepresentasikan pelbagai unsur yang merasa berkepentingan saja. Sedang hasil musyawarahnya mesti diinformasikan kepada masyarakat.
Hasil MAD baik yang formal maupun non formal tidak selalu harus dituangkan dalam aturan tertulis yang berupa Peraturan Bersama Kepala Desa. Negara ini mengakui adanya hukum tidak tertulis (konvensi) disamping hukum tertulis (konstitusi). Praktik-praktik baik yang menjadi adat kebiasaan dimana seseorang akan terkena sanksi sosial, biasanya merupakan hasil konvensi.
Nilai-nilai sosial berkembang menjadi norma yang disepakati. Norma-norma ini lah yang disebut hukum konvensi. Ini berlaku pula pada kegiatan yang bersifat kerjasama antar desa.
Misalnya, soal petani dan atau penggarap sawah di desa lain. Dengan atau tanpa melalui MAD, biasanya sudah terjadi kesepakatan dimana para petani dan atau penggarap sawah harus mengikuti aturan di desa dimana dia melakukan aktifitasnya. Prinsip dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung adalah konvensi yang selama ini dijalankan. Apalagi ini urusan yang bersifat privat.
Kasus lain berupa pemanfaatan jalan antar desa. Dimana warga desa A yang melewati jalan desa B untuk menuju desa C, tetap berlaku seperti biasanya tanpa perlu MAD. Kebiasaan yang sudah berjalan turun-temurun begini, tidak perlu dibuatkan Peraturan Bersama Kepala Desa antara desa A, B, dan C.
Oleh karenanya dalam hal penerbitan Peraturan Bersama Kepala Desa, tidak menjadikan syarat mutlak ada atau tidaknya kegiatan kerjasama antar desa. Kerjasama antar desa masih bisa dilakukan baik melalui proses formal maupun tidak. Peraturan Bersama Kepala Desa hanya dibutuhkan untuk hal-hal tertentu saja. Pengakuan akan konvensi masih bisa dilakukan.
Kesepakatan-kesepakatan yang harus dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa dimaksudkan untuk mencegah terjadinya permasalahan kelak di kemudian hari. Baik permasalahan yang sudah muncul atau diprediksikan berpotensi memunculkan konflik. Bisa juga didasarkan akan tingkat kepentingan kerjasama antar desa. Artinya tidak semua kesepakatan harus dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa.
Maka pernyataan yang mengatakan bahwa semua harus ada hitam diatas putih, tertolak. Karena berseberangan dengan adat dan budaya yang sudah mengakar di masyarakat. Ada konvensi yang diakui negara.