Kontroversi Revisi UU Desa, Jabatan Kades Jadi 8 Tahun hingga Kenaikan Anggaran
Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR RI, setelah melalui proses lobi dan mendengar aspirasi dari berbagai pihak, terutama Asosiasi Kepala Desa dan Perangkat Desa (APDESI).
Revisi UU Desa ini mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan pemerintahan, pembangunan, dan kesejahteraan desa, yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Perpanjangan Masa Jabatan Kades
Salah satu poin yang paling menarik perhatian publik adalah perubahan masa jabatan kepala desa (kades) dari 6 tahun menjadi 8 tahun untuk sekali periode, dan maksimal 2 periode. Hal ini berbeda dengan UU Desa yang lama, yang mengatur masa jabatan kades 6 tahun dengan maksimal 3 periode.
Menurut Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, perpanjangan masa jabatan kades bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada kades untuk melanjutkan program pembangunan desa yang telah dirancang dan dilaksanakan. Selama ini, masa jabatan kades yang hanya 6 tahun dinilai kurang cukup untuk menyelesaikan berbagai program yang membutuhkan waktu lama, seperti infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan desa.
Selain itu, perpanjangan masa jabatan kades juga diharapkan dapat mengurangi potensi konflik sosial yang sering terjadi saat pemilihan kades (pilkades).
Dengan masa jabatan yang lebih panjang, kades dapat lebih fokus pada tugas dan tanggung jawabnya, tanpa harus terganggu oleh persiapan pilkades yang biasanya memicu persaingan dan permusuhan antara calon kades dan pendukungnya.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan kebijakan ini. Sebagian masyarakat desa khawatir akan terjadi penyalahgunaan wewenang atau korupsi oleh kades yang berkuasa terlalu lama.
Mereka juga menginginkan adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi yang ketat dan transparan terhadap kinerja kades, agar tidak terjadi stagnasi atau kemunduran dalam pembangunan desa.
Kenaikan Anggaran Desa
Poin lain yang menjadi kontroversi adalah kenaikan anggaran desa yang diatur dalam revisi UU Desa. Dalam UU Desa yang lama, sumber pendapatan desa berasal dari alokasi dana desa (ADD), dana desa (DD), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Besaran dana yang diterima oleh masing-masing desa berbeda tergantung pada jumlah penduduknya, dengan jumlah minimal Rp100 juta.
Dalam revisi UU Desa, besaran dana desa ditambah menjadi minimal Rp200 juta per desa.
Selain itu, pemerintah juga memberikan tambahan dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah (DBHPRD) sebesar 10 persen dari total DBHPRD yang diterima oleh kabupaten/kota. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan desa.
Namun, kenaikan anggaran desa ini juga menuai kritik dari sebagian kalangan. Mereka menilai bahwa kenaikan anggaran desa tidak sebanding dengan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas pengelolaan dana desa.
Mereka juga menyoroti potensi penyelewengan dan korupsi dana desa yang masih tinggi, terutama karena lemahnya pengawasan dan sanksi terhadap pelaku. ***