Fakta Menarik di Balik Gaji dan Tunjangan Badan Permusyawaratan Desa
Baru-baru ini, sebuah pertanyaan menarik mencuat terkait seberapa besar gaji yang diterima oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang diatur dalam regulasi.
Banyak yang salah kaprah dengan menyebut istilah “gaji,” padahal jika kita meneliti lebih dalam, baik dalam Undang-Undang Desa maupun aturan turunannya, tidak ada istilah “gaji” bagi anggota BPD.
Dalam UU Desa, khususnya Pasal 61 huruf (c), dijelaskan bahwa salah satu hak BPD adalah mendapatkan biaya operasional atas pelaksanaan tugas dan fungsinya yang dianggarkan melalui APBDes.
Sementara itu, Permendagri No. 110 Tahun 2016 Pasal 55 ayat (1) huruf (e) menyebutkan bahwa BPD berhak mendapat tunjangan yang juga bersumber dari APBDes.
Jadi, jelas bahwa yang ada hanyalah istilah biaya operasional dan tunjangan, bukan gaji.
Hal ini perlu dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat.
Perbedaan Tunjangan Antar Daerah
Faktanya, besaran tunjangan BPD sangat bervariasi antar kabupaten dan daerah.
Ironisnya, jumlah yang diterima oleh BPD sering kali jauh lebih kecil dibandingkan dengan penghasilan tetap dan tunjangan perangkat desa lainnya.
Sebagai contoh, di salah satu kabupaten, penghasilan tetap dan tunjangan perangkat desa bisa mencapai lebih dari Rp2 juta per bulan, sementara tunjangan untuk Ketua BPD hanya sekitar Rp500 ribu.
Perbedaan ini mencolok mengingat tugas dan fungsi yang dijalankan oleh BPD juga tidak kalah berat dibandingkan perangkat desa.
Namun, keputusan mengenai besaran tunjangan ini sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah, dalam hal ini bupati atau walikota, yang diatur melalui Peraturan Bupati/Peraturan Daerah.
Studi Kasus dan Solusi
Di kabupaten saya, rata-rata tunjangan perangkat desa mencapai Rp2 juta lebih per bulan, sedangkan tunjangan Ketua BPD hanya Rp500 ribu.
Disparitas ini sangat signifikan dan menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dalam pengaturan tunjangan.