Sistem tata kelola dana pensiun untuk pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri di Indonesia terus menjadi sorotan.
Dengan beban keuangan negara yang terus meningkat, pemerintah mulai menyadari urgensi reformasi skema dana pensiun agar lebih berkelanjutan dan efisien.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan bahwa pada periode 2018 hingga semester pertama 2019, penyelenggaraan program pensiun belum efektif.
Regulasi yang mengatur sistem ini belum lengkap, dan pemerintah tidak lagi mewajibkan badan penyelenggara seperti PT Taspen dan PT Asabri untuk menyampaikan laporan aktuaris secara berkala.
Akibatnya, risiko keuangan negara dari program ini meningkat, termasuk ancaman naiknya belanja pensiun di masa depan.
Selain itu, kebijakan yang ada dinilai membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Berdasarkan data 2019, anggaran untuk pensiun pegawai negeri mencapai Rp19,48 triliun, meningkat 12% setiap tahunnya sejak 2008.
Hal ini terjadi akibat perbedaan besar antara premi yang diterima dan klaim yang dibayarkan.
Peningkatan beban pensiun juga disebabkan oleh sistem pensiun pay-as-you-go, di mana anggaran pensiun PNS, TNI, dan Polri ditanggung langsung oleh APBN.
Sistem ini bahkan mencakup pembayaran hingga istri/suami dan anak dari pegawai yang bersangkutan.
Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, menyebut bahwa total dana pensiun yang dialokasikan mencapai Rp120 triliun per tahun untuk lebih dari 3,1 juta pensiunan.
Taspen sebagai pengelola mencatat pendapatan premi hanya sebesar Rp9,7 triliun, sementara klaim mencapai Rp12,36 triliun, membuat selisih negatif Rp3,29 triliun.
Untuk menutup defisit ini, Taspen bergantung pada hasil investasi, yang sayangnya hanya mencapai imbal hasil sebesar 4,5% dari total aset keuangan mereka.
Investasi dana pensiun Indonesia masih didominasi oleh instrumen jangka pendek dengan risiko rendah, seperti obligasi dan sukuk, yang mencapai lebih dari 80% dari total portofolio.
Hal ini membuat return investasi sangat terbatas.
Sebagai perbandingan, kontribusi dana pensiun di sektor keuangan Indonesia hanya sebesar 2,5% dari total aset finansial, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyarankan perlunya perubahan skema pensiun agar lebih mandiri.
Salah satu opsi adalah mengadopsi sistem berbasis kontribusi, seperti yang diterapkan di Thailand melalui Government Pension Fund (GPF).