BUNGKO NEWS — Pemerintah kembali dihadapkan dengan dilema terkait nasib tenaga honorer yang masuk dalam kategori R2 dan R3.
Meskipun seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) 2024 sudah berlalu, masih banyak tenaga honorer yang belum berkesempatan mendapatkan posisi ini.
Kini, muncul wacana baru yang mengusulkan pemotongan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 10% demi mengangkat honorer R2 dan R3 menjadi P3K penuh waktu.
Di sisi lain, ada pula opsi lain berupa skema outsourcing yang mulai disiapkan beberapa daerah sebagai jalan tengah.
Salah satu gagasan yang mencuat datang dari Haji Nasrullah Mokhtar yang menyebutkan bahwa pemotongan 10% gaji PNS dapat menjadi solusi bagi tenaga honorer R2 dan R3.
R2 sendiri merupakan tenaga honorer kategori K2 yang telah mengikuti seleksi P3K tahap pertama namun belum lolos, sementara R3 adalah tenaga honorer yang telah mengabdi selama tiga tahun tetapi masih belum mendapatkan kepastian formasi.
Saat ini, banyak tenaga honorer yang bertahan dengan gaji yang jauh di bawah standar.
Sebagian dari mereka bahkan hanya menerima honor dari dana hibah sekolah atau dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang nominalnya sangat minim.
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan tenaga honorer yang telah lama mengabdi bisa mendapatkan kepastian status dan kesejahteraan yang lebih baik.
Namun, usulan ini bukan tanpa kontroversi.
Banyak pihak yang mempertanyakan apakah adil bagi PNS untuk mengalami pemotongan gaji demi membiayai pengangkatan honorer?
Mengingat beban kerja PNS yang sudah cukup tinggi, pemotongan gaji justru dikhawatirkan akan menimbulkan resistensi dari para pegawai negeri.
Selain wacana pemotongan gaji PNS, ada juga konsep P3K paruh waktu yang saat ini menjadi perdebatan hangat.
Dalam skema ini, tenaga honorer tetap diangkat sebagai P3K, tetapi dengan gaji yang menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Sayangnya, masih banyak yang belum memahami bagaimana sistem kerja P3K paruh waktu ini akan diterapkan.
Apakah jam kerja mereka akan tetap penuh dengan gaji yang lebih kecil?
Atau justru jam kerja yang lebih fleksibel dengan bayaran yang disesuaikan?
Ini masih menjadi tanda tanya besar di kalangan tenaga honorer yang khawatir skema ini justru akan semakin menyulitkan mereka.
Menurut Dewan Pembina Honorer K2, banyak tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang kini hanya menerima honor berkisar Rp150.000 hingga Rp200.000 per bulan.
Dengan kondisi seperti ini, mereka tentu berharap jika diangkat sebagai P3K, gaji yang diberikan bisa lebih layak dan tidak sama dengan honor sebelumnya.
Bagi tenaga honorer yang gagal dalam seleksi P3K atau yang tidak mendapatkan formasi, skema outsourcing mulai dipertimbangkan oleh beberapa daerah.
Salah satu contohnya adalah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, yang akan menerapkan skema outsourcing mulai Maret 2025.
Dalam skema ini, pegawai honorer yang tidak berhasil masuk dalam seleksi P3K tetap bisa bekerja dengan sistem kontrak melalui pihak ketiga.
Namun, masih banyak tenaga honorer yang skeptis terhadap konsep ini.