BUNGKO NEWS — Di era digital saat ini, gaya hidup dan kebiasaan para konten kreator seringkali menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat.
Mulai dari hal-hal yang terkesan sepele seperti pilihan wardrobe dalam setiap video, hingga isu-isu struktural yang menyangkut sistem kepegawaian di Indonesia.
Di satu sisi, terdapat kritik terhadap konten kreator yang dinilai kurang efisien dalam penggunaan sumber daya, dan di sisi lain, muncul protes dari para pegawai honorer yang telah bekerja bertahun-tahun dengan imbalan yang jauh dari layak.
Artikel ini mencoba mengupas kedua fenomena tersebut serta implikasinya bagi masyarakat dan pemerintahan.
Seringkali, para konten kreator tampil dengan penampilan yang selalu berganti–mulai dari kaos hitam, putih, hingga biru–untuk setiap video yang mereka rekam.
Di permukaan, hal ini tampak sebagai upaya untuk menyesuaikan tema dan menjaga kesegaran tampilan dalam setiap konten.
Namun, kritik pun muncul apabila kebiasaan tersebut dianggap berlebihan.
Beberapa pihak menyayangkan praktik gonta-ganti baju yang kerap terjadi, mengingat hal tersebut menyebabkan pemborosan sumber daya, seperti deterjen dan air, serta memberi beban tambahan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pencucian.
Di tengah banyaknya pengikut dan popularitas yang telah diraih, seharusnya sudah tersedia opsi wardrobe yang cukup variatif dan praktis.
Pemilihan pakaian yang sesuai dengan tema seharusnya tidak mengorbankan efisiensi dan bahkan menimbulkan dampak negatif pada lingkungan atau pihak lain yang tidak bersalah.
Sementara itu, di ranah dunia nyata terdapat persoalan yang jauh lebih kompleks dan berdampak luas.
Belakangan ini, demonstrasi besar-besaran yang diadakan oleh para pegawai honorer di gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, menarik perhatian nasional.
Para honorer menuntut agar segera diangkat menjadi pegawai tetap (ASN), mengingat mereka telah mengabdi selama 10, 15, bahkan 20 tahun dengan gaji yang sangat minim, yakni sekitar Rp500.000 per bulan.
Statistik menunjukkan bahwa jumlah pegawai honorer di seluruh Indonesia mencapai angka mencengangkan, yaitu sekitar 5,6 juta orang (data per September 2023).
Jika seluruhnya diangkat menjadi ASN sekaligus, pemerintah harus menyiapkan anggaran yang jauh lebih besar untuk belanja rutin kepegawaian.
Misalnya, apabila rata-rata gaji dinaikkan menjadi Rp5 juta, beban biaya yang harus dikeluarkan dari APBN bisa mencapai angka triliunan rupiah setiap bulannya.
Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri, mengingat keterbatasan dana serta berbagai prioritas pembangunan nasional.
Di samping itu, kritik juga dilontarkan kepada sejumlah oknum ASN dan karyawan BUMN yang, meskipun mendapat gaji dari uang rakyat, justru kerap terlibat dalam praktik mencaci maki dan menghujat pemerintah.
Ironisnya, mereka yang seharusnya mendukung keberlangsungan pelayanan publik justru tampak kurang peka terhadap permasalahan struktural yang terjadi, bahkan berujung pada saling menyalahkan.
Fenomena ini mencerminkan adanya ketidakselarasan antara kebijakan pemerintah dengan ekspektasi serta realitas yang dihadapi di lapangan.
Kedua fenomena di atas, meskipun terkesan berbeda dari segi skala dan dampak, sama-sama mencerminkan kondisi sosial yang kompleks.
Di satu sisi, gaya hidup konten kreator yang terkesan boros dan kurang efisien mengundang pertanyaan tentang nilai-nilai kepraktisan dan keberlanjutan.
Di sisi lain, krisis yang dialami oleh para pegawai honorer merupakan cermin dari ketidakadilan dalam sistem kepegawaian yang telah berlangsung lama.
Kritik terhadap pemerintah dan institusi seharusnya disampaikan secara konstruktif.
Perbedaan antara mengkritik dengan cara menyampaikan pendapat secara santun dan menyerang dengan cacian yang tidak produktif sangatlah besar.
Masyarakat, khususnya para pekerja yang hidup dan bergantung pada dana publik, diharapkan dapat menyalurkan aspirasinya melalui mekanisme dialog yang positif.
Sementara itu, pihak pemerintah harus mampu merespons tuntutan tersebut dengan kebijakan yang adil dan berkelanjutan.
Diharapkan, dengan adanya kesadaran bersama dari semua pihak—baik konten kreator, pegawai honorer, ASN, maupun karyawan BUMN—perubahan sistemik dapat segera terjadi.
Pemerintah perlu mencari solusi yang tepat dan bertahap untuk mengangkat status pegawai honorer sehingga hak mereka sebagai pekerja dapat terpenuhi tanpa harus menambah beban keuangan negara secara tiba-tiba.
Di sisi lain, para pekerja yang sudah mendapatkan dukungan dari pemerintah hendaknya lebih bersikap konstruktif dan mendukung langkah-langkah perbaikan yang diarahkan untuk kesejahteraan bersama.
Melalui diskursus yang sehat dan sikap saling menghargai, diharapkan Indonesia dapat bergerak menuju sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih transparan, efisien, dan berpihak pada rakyat.
Semoga kritik dan aspirasi yang disampaikan, baik melalui media sosial maupun jalur resmi, mampu menghasilkan perubahan positif yang nyata.
Artikel ini mengajak kita untuk merenungkan kembali nilai efisiensi, keadilan, dan tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan—baik di dunia maya maupun di ranah pemerintahan.
Semoga diskursus publik yang berkembang dapat mendorong perbaikan sistemik yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. ***