Pemerintah Indonesia terus menghadapi tantangan besar dalam mengelola sistem jaminan sosial, terutama terkait dengan pensiun dan subsidi bagi anggota TNI dan Polri.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa perkembangan penting yang harus diwaspadai, termasuk pembayaran pensiun yang meningkat signifikan, serta kasus korupsi besar yang melibatkan perusahaan-perusahaan negara seperti Asabri dan Taspen.
Mari kita telusuri lebih dalam tentang kondisi ini dan langkah-langkah yang diambil untuk mengatasinya.
Sejak Januari 2024, pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar Rp 19,2 triliun untuk pembayaran pensiun dan subsidi kepada anggota TNI, Polri, dan pegawai pemerintah lainnya.
Angka ini mengalami kenaikan sebesar 16,8% dibandingkan tahun lalu.
Kenaikan ini terutama disebabkan oleh peningkatan manfaat pensiun, yang mencakup kenaikan gaji serta pensiun, baik untuk pensiun reguler maupun pensiun ke-13 yang diberikan sebagai tunjangan hari raya (THR).
Selain itu, pemerintah juga telah menyalurkan dana sebesar Rp 27 triliun untuk subsidi dan kompensasi yang terkait dengan pembayaran pensiun.
Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian negara terhadap kesejahteraan anggota TNI dan Polri, yang mendapatkan potongan gaji untuk program jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kecelakaan kerja.
Namun, di balik angka-angka yang menggembirakan tersebut, ada masalah besar yang mengemuka, yakni kasus-kasus korupsi yang melibatkan pengelolaan dana pensiun di Asabri dan Taspen.
Salah satu isu yang tengah menjadi perhatian utama adalah kasus korupsi yang melibatkan Asabri, perusahaan pengelola dana pensiun bagi anggota TNI, Polri, dan pegawai Kementerian Pertahanan.
Berdasarkan data yang ditemukan, kerugian akibat kasus korupsi ini diperkirakan mencapai Rp 22,7 triliun yang terjadi antara tahun 2012 hingga 2019.
Dana yang dikelola oleh Asabri pada waktu itu tidak hanya disalahgunakan oleh pihak internal, tetapi juga dikelola dengan cara yang tidak profesional, termasuk melalui investasi fiktif yang merugikan.
Kejaksaan Agung Indonesia, yang kini menangani kasus ini, telah menyita aset dari para tersangka, termasuk Heru Hidayat, yang memiliki aset tambang seluas 3.000 hektar di Sulawesi Selatan.
Aset yang disita diperkirakan mencapai Rp 13,3 triliun, meskipun hanya sebagian kecil dari kerugian yang dapat dipulihkan.