JAKARTA — Meski mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara kilat, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR tidak menetapkan target pembahasan serta penyelesaian rancangan undang-undang tersebut. Sebelum mendapatkan persetujuan dari pemerintah, DPR juga masih akan menyerap aspirasi publik. Ini menjadi kesempatan untuk mengevaluasi kembali substansi Rancangan Undang-Undang Desa yang dinilai tak sejalan dengan kepentingan publik.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi rancangan undang-undang (RUU) usul inisiatif Badan Legislasi (Baleg) DPR melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/7/2023). Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Nasdem Rachmat Gobel itu, sembilan fraksi partai politik (parpol) satu suara untuk menyetujui usul tersebut. Selanjutnya pimpinan DPR akan mengirim surat kepada pemerintah untuk mengusulkan pembahasan RUU.
Selama rapat paripurna berlangsung, sejumlah kepala desa yang tergabung dalam tujuh asosiasi memantau dari balkon ruang rapat. Sebelum meminta persetujuan dari fraksi-fraksi, Puan membacakan asosiasi asal para kepala desa. Ia pun sempat melambaikan tangan saat menyapa para kepala desa dari Jawa Tengah, yang merupakan daerah pemilihannya.
Saat Puan menanyakan persetujuan fraksi-fraksi lalu dijawab setuju secara kompak, para kepala desa pun bersorak sambil mengucap syukur. Beberapa di antaranya meneriakkan nama Puan.
Sekalipun sudah resmi menjadi RUU usul inisiatif DPR, DPR tidak memasang target kapan akan memulai pembahasan dan penyelesaian RUU Desa. Tidak ada pula tenggat yang diberikan kepada pemerintah untuk mengirimkan surat presiden (surpres) yang berisi persetujuan untuk membahas RUU Desa. Padahal, tanpa surpres RUU Desa belum bisa dibahas oleh DPR bersama pemerintah.
”Kami tidak memiliki target yang ditetapkan karena yang kami harapkan adalah bisa menampung aspirasi dari masyarakat, kemudian bisa bermanfaat untuk desa-desa yang ada di Indonesia ke depan sehingga nanti akan dijalankan sesuai dengan mekanisme yang ada di DPR,” kata Puan ditemui seusai rapat paripurna.
“Kami tidak memiliki target yang ditetapkan, karena yang kami harapkan adalah bisa menampung aspirasi dari masyarakat, kemudian bisa bermanfaat untuk desa-desa yang ada di Indonesia ke depan, sehingga nanti akan dijalankan sesuai dengan mekanisme yang ada di DPR”
Ditanya mengenai ketidakjelasan waktu pembahasan serta indikasi politisasi RUU Desa demi kepentingan anggota DPR yang akan mencalonkan diri kembali pada Pemilu 2024, Puan menegaskan, dirinya berharap agar langkah yang diambil DPR hendaknya diapresiasi sebagai tindakan positif. Ia membenarkan RUU Desa nantinya akan dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Namun sebelum itu, pihaknya mesti menyerap aspirasi dari seluruh pemangku kepentingan.
“Masukan, aspirasi, dari para stakeholder itu menjadi lebih penting, sehingga nanti dalam pembahasan, apa-apa yang dihasilkan itu berkualitas.”
”Masukan, aspirasi, dari para stakeholder itu menjadi lebih penting sehingga nanti dalam pembahasan, apa-apa yang dihasilkan itu berkualitas,” ujar Puan.
Usul revisi UU Desa menimbulkan kontroversi. RUU yang tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 itu tiba-tiba diusulkan untuk diubah dengan alasan menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara uji materi UU No 6/2014 pada Maret lalu. Oleh karena itu, RUU Desa dimasukkan ke daftar RUU Kumulatif Terbuka.
Dengan dalih menyesuaikan dengan putusan MK, DPR sepakat merevisi UU Desa. Sejumlah poin yang akan diubah antara lain memperpanjang masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun selama dua periode. Adapun kepala desa yang sudah menjabat selama dua periode bisa mencalonkan diri kembali untuk satu periode lagi. DPR juga mengusulkan agar alokasi dana desa ditingkatkan menjadi 20 persen dari total dana transfer daerah. Pembahasan sejumlah poin itu berlangsung selama dua pekan di tengah tahapan Pemilu 2024.
Selain menyetujui RUU Desa sebagai usul inisiatif DPR, rapat paripurna juga menyetujui pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU. Persetujuan itu diambil setelah mendengarkan pandangan dari fraksi-fraksi. Dari sembilan fraksi parpol di DPR, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU. Selebihnya setuju, hanya Partai Nasdem yang menyetujuinya dengan disertai catatan.
Kesempatan evaluasi
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes melihat bahwa belum adanya target pembahasan dan penyelesaian RUU Desa bisa menjadi kesempatan untuk mengevaluasi substansi revisi UU tersebut. Sebab, dari sejumlah kajian akademik yang ada, belum ada kebutuhan untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun selama dua periode. Dengan masa jabatan yang begitu panjang, demokratisasi desa menjadi terancam.
“Usulan yang muncul tergesa-gesa itu kemungkinan memang tidak didasarkan pada pertimbangan berbasis bukti, tidak ada argumen pendukung penambahan masa jabatan menjadi sembilan tahun, kalau kita lihat pejabat eksekutif lainnya, itu kan hanya lima tahun selama dua periode, kalau ada masa jabatan sembilan tahun, bisa sampai tiga periode, pertimbangan publiknya apa.”
Begitu juga dengan usul penambahan alokasi dana desa sebesar 20 persen dari total dana transfer daerah. Selama ini, dengan alokasi dana desa yang ada pun, belum ada peningkatan signifikan terhadap pembangunan manusia dan daerah setempat. Ditambah lagi potensi korupsi dana desa yang selama ini kerap terjadi.
Terlebih, kata Arya, usulan RUU Desa yang terjadi secara tiba-tiba di tengah tahun politik juga mengindikasikan adanya kepentingan terkait Pemilu 2024. ”Usulan yang muncul tergesa-gesa itu kemungkinan memang tidak didasarkan pada pertimbangan berbasis bukti, tidak ada argumen pendukung penambahan masa jabatan menjadi sembilan tahun, kalau kita lihat pejabat eksekutif lainnya, itu kan hanya lima tahun selama dua periode, kalau ada masa jabatan sembilan tahun, bisa sampai tiga periode, pertimbangan publiknya apa,” ujar Arya.