Di tengah deru reformasi birokrasi, sebuah isu sensitif merebak yang menyentuh hati para Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Tidak hanya tentang pekerjaan, tapi tentang hak-hak dasar pasca purna tugas: pensiun.
Menurut Amaden, Koordinator wilayah Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) Provinsi Jambi, telah tiba saatnya pemerintah meninjau kembali pengakuan yang diberikan kepada PPPK sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang setara dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kesetaraan ini bukan hanya simbolis. Di balik uniform seragam dan identitas pegawai, terdapat kebutuhan dasar yang sama: jaminan hari tua.
“Sebagai ASN yang diakui oleh UU Nomor 20 Tahun 2023, seharusnya tidak ada diskriminasi dalam pemberian hak pensiun,” ujar Amaden dalam wawancara eksklusif.
Menurutnya, pemerintah tidak dapat lagi menggunakan alasan kontrak kerja sebagai dasar untuk mengesampingkan hak pensiun PPPK.
Ironisnya, sementara pejabat politik yang tugasnya pun kontrak dapat menikmati pensiun dengan ‘nilai fantastis’ dan fasilitas lain, PPPK masih berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka anggap sebagai hak dasar.
Kasus ini bukan hanya soal anggaran atau regulasi, melainkan soal keadilan sosial dan kesetaraan di lingkungan kerja pemerintahan.
Para PPPK, yang banyak di antaranya telah mengabdikan dekade dari hidup mereka dalam pelayanan publik, merasa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di mata hukum.
“PPPK itu ASN sama kayak PNS. Tidak ada bedanya. Kerja sama, tanggung jawab juga sama, makanya pemerintah jangan membedakan,” tegas Amaden.