Perangkat desa adalah pembantu kepala desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Perangkat desa terdiri dari sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis.
Perangkat desa memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti mengurus administrasi, mengkoordinasikan kegiatan, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat desa.
Namun, perangkat desa tidak boleh sembarangan menjadi pengurus partai politik (parpol). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah mengatur jelas larangan ini. Pasal 51 huruf g UU Desa menyatakan bahwa perangkat desa dilarang menjadi pengurus parpol.
Larangan ini juga berlaku bagi kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa (BPD).
Lalu, apa alasan di balik larangan ini? Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), larangan ini bertujuan untuk menjaga netralitas dan profesionalisme perangkat desa dalam menjalankan pemerintahan desa. Jika perangkat desa terlibat dalam kepengurusan parpol, maka besar kemungkinan terjadi keberpihakan terhadap parpol tertentu.
Hal ini dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan dan penggunaan anggaran desa.
Selain itu, perangkat desa juga dilarang ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah. Pasal 29 huruf j UU Desa mengatur larangan ini. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya konflik dan intimidasi di tingkat desa akibat perbedaan pilihan politik.
Dengan demikian, perangkat desa harus menjaga jarak dengan parpol dan fokus pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparatur pemerintahan desa. Perangkat desa tetap dapat menggunakan hak politiknya untuk memberikan suara dalam pemilu, namun tidak boleh menjadi pengurus parpol.
Pembatasan ini merupakan konsekuensi dari jabatan perangkat desa yang harus netral dan bebas dari pengaruh kepentingan politik.