Pada tanggal 29 Mei, diskusi mengenai skema kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kembali mencuat.
Diskusi ini melibatkan pengamat kebijakan publik Rian Nugroho dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sani Iskandar.
Meski pihak Tapera dan pemerintah belum bersedia hadir, pandangan kritis dari kedua narasumber memberikan wawasan penting mengenai kebijakan ini.
Apindo secara tegas menolak kebijakan Tapera, khususnya terkait kewajiban membayar iuran yang dianggap sebagai duplikasi dari iuran yang sudah ada, seperti iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Sani Iskandar, iuran BPJS Ketenagakerjaan sudah mencakup jaminan hari tua dan manfaat layanan tambahan (MLT) untuk perumahan.
Dari total iuran yang terkumpul sebesar Rp400 triliun lebih, 30% atau sekitar Rp138 triliun dapat digunakan untuk manfaat layanan tambahan perumahan.
Dengan adanya iuran Tapera, pekerja dan pengusaha harus membayar dua kali untuk tujuan yang sama, yang dianggap tidak adil dan memberatkan.
Rian Nugroho dari Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) juga mempertanyakan efektivitas kebijakan ini.
Ia menekankan pentingnya proses inklusif dalam pembuatan kebijakan, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait.
Menurutnya, kebijakan ini berisiko menciptakan biaya tinggi bagi pengusaha dan mengurangi kesejahteraan pekerja.
Nugroho juga mengingatkan bahwa kebijakan perumahan yang tidak matang bisa berdampak negatif dalam jangka panjang, seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008.
Baik Sani Iskandar maupun Rian Nugroho sepakat bahwa setiap kebijakan baru harus melalui proses analisis dampak regulasi (regulatory impact assessment) yang komprehensif.
Ini penting agar seluruh pemangku kepentingan dapat memberikan masukan dan memastikan kebijakan yang dihasilkan tidak memberatkan pihak manapun.