- Raja Mokodoludut (1400-1460): Pendiri Kerajaan Bolaang Mongondow
- Raja Yayubangkai (1460-1480): Penguasa Laut dan Darat
- Raja Damopolii (1480-1510)
- Raja Busisi (1511-xxxx)
- Raja Makalalo (1558-1580)
- Raja Mokodompit (1540-1600)
- Raja Mokoagow: Penguasa Kerajaan Bolaang Mongondow yang Berjaya pada Abad ke-17
- Raja Tadohe (1620-1650 M)
- Datu Binangkang (1650-1695 M)
- Yakobus Manoppo (1695-1731 M)
- Fransiscus Manoppo (1731-1735 M)
- Raja Salomon Manoppo (1735-1764 M)
- Raja Eugenius Manoppo (1764-1770)
- Markus Manoppo (1773-1779 M)
- Cornelis Manoppo (1811-1829 M)
- Ismail Cornelis Manoppo (1829-1833 M)
- Adreanus Cornelis Manoppo (1858-1862 M)
- Yohanes Manuel Manoppo (1862-1880 M)
- Abraham Sugeha (1880-1893 M)
- Riedl Manuel Manoppo (1893-1905 M)
- Datu Cornelius Manoppo (1928-1947 M)
- Henny Yusuf Cornellius Manoppo (1947-1950 M)
Bolaang Mongondow adalah nama kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Kerajaan ini didirikan oleh Mokodoludut, raja pertama Bolaang Mongondow, pada tahun 1400 M. Pada masa kejayaannya, kerajaan ini menguasai wilayah Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, dan Manado. Namun, pada abad ke-18, kerajaan ini mulai kehilangan wilayahnya akibat aneksasi oleh VOC. Berikut ini adalah daftar raja-raja Bolaang Mongondow beserta masa pemerintahannya:
- Mokodoludut (1400-1460 M)
- Yayubangkai (1460-1480 M)
- Damopolii (1480-1510 M)
- Busisi (1511-…M)
- Makalalo (1558- 1580 M)
- Mokodompit (1540-1600 M)
- Mokoagow (1600-1620 M)
- Tadohe (1620-1650 M)
- Datu Binangkang (1650-1695 M)
- Yakobus Manoppo (1695-1731 M)
- Fransiscus Manoppo (1731-1735 M)
- Salomon Manoppo (1735-1764 M)
- Eugenius Manoppo (1767-1770 M)
- Markus Manoppo (1773-1779 M)
- Cornelis Manoppo (1811-1829 M)
- Ismail Cornelis Manoppo (1829-1833 M)
- Adreanus Cornelis Manoppo (1858-1862 M)
- Yohanes Manuel Manoppo (1862-1880 M)
- Abraham Sugeha (1880-1893 M)
- Riedl Manuel Manoppo (1893-1905 M)
- Datu Cornelius Manoppo (1928-1947 M)
- Henny Yusuf Cornellius Manoppo (1947-1950 M)
Kerajaan Bolaang Mongondow bergabung dengan NKRI pada 1 Juli 1950 dengan keluarnya maklumat raja tentang bergabung ke Republik Indonesia dan pengunduran diri raja. Dengan demikian, bekas kerajaan Bolaang Mongondow menjadi daerah tingkat II dalam provinsi Sulawesi yang beribukota di Makassar saat itu.
Raja Mokodoludut (1400-1460): Pendiri Kerajaan Bolaang Mongondow
Raja Mokodoludut adalah raja pertama Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Raja Mokodoludut diangkat sebagai raja pada tahun 1400 M berdasarkan kesepakatan para Bogani, yaitu pemimpin-pemimpin dari berbagai Totabuan, yaitu permukiman yang dibentuk oleh keturunan pasangan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoi dan Bakal. Raja Mokodoludut membangun istana Punu Molantud di Desa Bumbungon dan menetapkan bahwa keturunannya akan menjadi raja-raja selanjutnya.
Raja Mokodoludut dan permaisurinya Bunia mempunyai lima orang anak, yaitu: Galonggom, Ginupit, Pondadat, Gnisaponda (putri) dan Yayubangkai. Yayubangkai terpilih untuk menggantikan ayahnya sebagai raja kedua Kerajaan Bolaang Mongondow. Raja Mokodoludut memerintah selama 60 tahun hingga tahun 1460 M. Selama masa pemerintahannya, ia berhasil mempersatukan berbagai Totabuan dan membina hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Ternate, Tidore, dan Gorontalo.
Raja Mokodoludut juga dikenal sebagai raja yang bijaksana, adil, dan berwibawa. Ia mengatur pemerintahan kerajaan dengan baik dan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia juga mengembangkan budaya dan seni kerajaan, seperti musik, tari, dan sastra. Salah satu karya sastra yang terkenal dari masa pemerintahan Raja Mokodoludut adalah syair Mokodoludut, yang menceritakan tentang asal-usul dan sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow.
Raja Mokodoludut adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Sulawesi Utara. Ia merupakan pendiri Kerajaan Bolaang Mongondow, yang pada puncak kejayaannya, wilayahnya meliputi Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, serta Manado. Ia juga merupakan leluhur dari raja-raja Bolaang Mongondow selanjutnya, yang terus mempertahankan eksistensi dan identitas kerajaan hingga abad ke-20. Raja Mokodoludut meninggalkan warisan berupa nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal yang masih dihormati dan dilestarikan oleh masyarakat Bolaang Mongondow hingga saat ini.
Raja Yayubangkai (1460-1480): Penguasa Laut dan Darat
Raja Yayubangkai adalah raja kedua Kerajaan Bolaang Mongondow, yang berkuasa dari tahun 1460 hingga 1480 Masehi. Ia adalah putra dari Raja Mokodoludut, raja pertama kerajaan yang didirikan pada sekitar tahun 1400 Masehi. Nama Bolaang berasal dari kata bolango atau balangon yang berarti ‘laut’, sedangkan Mongondow berasal dari kata momondow yang berarti ‘berseru tanda kemenangan’. Kerajaan Bolaang Mongondow terletak di Sulawesi Utara, dan pada masa kejayaannya meliputi Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, serta Manado.
Raja Yayubangkai dikenal sebagai penguasa yang berani dan cerdas. Ia berhasil memperluas wilayah kerajaannya dengan mengalahkan musuh-musuhnya, baik di laut maupun di darat. Salah satu kisah yang terkenal adalah ketika ia menghadapi armada Ternate yang datang untuk menyerang kerajaannya. Raja Yayubangkai tidak gentar, ia memimpin pasukannya untuk menghadapi Ternate di laut. Dengan strategi dan keberanian yang luar biasa, ia berhasil mengalahkan Ternate dari Lalada dan merampas semua harta yang ada di dalam kapal. Kemenangan ini membuat namanya disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.
Selain sebagai penguasa yang gagah berani, Raja Yayubangkai juga dikenal sebagai penguasa yang adil dan bijaksana. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, dan mengatur pemerintahan dengan baik. Ia juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Gorontalo, Buol, dan Minahasa. Ia bahkan menikahi putri dari Raja Minahasa, yang bernama Runtu. Dari pernikahan ini, ia memiliki seorang putra yang bernama Damopolii, yang kemudian menjadi raja ketiga Kerajaan Bolaang Mongondow.
Raja Yayubangkai meninggal pada tahun 1480 Masehi, dan dimakamkan di Buntalo, Bolaang. Ia dianggap sebagai salah satu raja terbaik yang pernah memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow, dan dihormati oleh rakyatnya. Kisah-kisah tentang kehebatan dan kebaikannya masih diceritakan hingga kini oleh masyarakat Mongondow, sebagai bagian dari sejarah dan budaya mereka.
Raja Damopolii (1480-1510)
Raja Damopolii adalah salah satu raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang berkuasa pada tahun 1480-1510 M. Ia adalah cucu dari raja pertama Bolaang Mongondow, Mokodoludut, yang mendirikan kerajaan tersebut pada tahun 1400 M. Raja Damopolii dikenal sebagai raja yang berani dan bijaksana, yang berhasil memperluas wilayah dan pengaruh kerajaannya di Sulawesi Utara.
Salah satu kisah yang terkenal tentang Raja Damopolii adalah hubungannya dengan orang-orang Minahasa yang tinggal di pesisir pantai. Menurut legenda, Raja Damopolii memiliki seorang putri yang cantik bernama Lontoh, yang dicintai oleh banyak pria. Namun, Lontoh menolak semua lamaran yang datang kepadanya, karena ia ingin menikah dengan pria yang sesuai dengan hatinya.
Suatu hari, Lontoh melihat seorang pemuda Minahasa yang sedang berlayar di laut dengan perahu kecilnya. Ia terpesona oleh ketampanan dan keberanian pemuda itu, yang bernama Tonaas. Lontoh pun memutuskan untuk menyamar sebagai seorang pedagang dan mengikuti Tonaas ke daratan Minahasa. Di sana, ia berhasil bertemu dan berkenalan dengan Tonaas, dan keduanya saling jatuh cinta.
Namun, hubungan mereka tidak direstui oleh ayah Tonaas, yang merupakan seorang kepala suku Minahasa. Ayah Tonaas menentang pernikahan mereka, karena ia tidak ingin putranya menikah dengan orang asing yang berbeda agama dan budaya. Ia pun mencoba untuk menghalangi dan mengancam mereka, tetapi Lontoh dan Tonaas tetap bersikeras untuk bersatu.
Akhirnya, ayah Tonaas mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi Lontoh, dengan syarat bahwa siapa pun yang bisa mengalahkan Tonaas dalam pertarungan akan mendapatkan Lontoh sebagai istri. Banyak pria Minahasa yang berani menerima tantangan itu, tetapi semuanya kalah oleh Tonaas, yang memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa. Hanya ada satu orang yang bisa mengimbangi Tonaas, yaitu seorang pria tua yang ternyata adalah Raja Damopolii, yang datang untuk mencari putrinya.
Raja Damopolii mengaku bahwa ia adalah ayah Lontoh, dan bahwa ia tidak keberatan dengan pernikahan mereka, asalkan Tonaas mau mengikuti agama dan adat istiadat Bolaang Mongondow. Tonaas pun bersedia untuk melakukannya, dan akhirnya ia dan Lontoh dapat menikah dengan restu kedua orang tua mereka. Mereka pun hidup bahagia di Kerajaan Bolaang Mongondow, dan melahirkan anak-anak yang menjadi pewaris kerajaan.
Kisah Raja Damopolii dan Lontoh ini menunjukkan bahwa cinta dapat mengatasi segala perbedaan dan rintangan. Kisah ini juga menjadi simbol persahabatan dan kerjasama antara Bolaang Mongondow dan Minahasa, yang saling menghormati dan membantu satu sama lain. Kisah ini masih diceritakan hingga sekarang, sebagai bagian dari sejarah dan budaya Sulawesi Utara.
Raja Busisi (1511-xxxx)
Raja Busisi adalah salah satu raja Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Raja Busisi bertahta sekitar tahun 1511 M dan merupakan putra dari Raja Damopolii.
Raja Busisi juga dikenal sebagai Raja Manado dan Bolaang, karena ia memindahkan ibu kota kerajaan dari Bolaang ke Manado, sebuah kota pelabuhan yang strategis di pantai utara Sulawesi. Raja Busisi berhasil memperluas wilayah kerajaan hingga mencakup sebagian wilayah Minahasa dan Kotamobagu.
Raja Busisi juga berinteraksi dengan bangsa-bangsa asing yang datang ke wilayahnya, seperti Portugis, Spanyol, dan Ternate. Ia menjalin hubungan dagang dan diplomasi dengan mereka, serta memperkenalkan agama Islam ke kerajaannya. Raja Busisi juga terlibat dalam peperangan melawan Ternate, yang mencoba menguasai wilayah Bolaang Mongondow.
Raja Busisi meninggal pada tahun 1558 M dan digantikan oleh putranya, Raja Makalalo, yang melanjutkan kebijakan ayahnya. Raja Busisi dianggap sebagai salah satu raja terbesar dan terkuat dalam sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow.
Raja Makalalo (1558-1580)
Raja Makalalo adalah salah satu raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang berkuasa pada tahun 1558-1580 M. Ia bertahta di Manado sebagai Raja Manado dan Bolaang, menggantikan Raja Busisi yang wafat pada tahun 1558 M. Raja Makalalo merupakan raja yang berani dan gigih dalam mempertahankan wilayah kerajaannya dari serangan musuh, terutama dari Kerajaan Ternate.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Makalalo adalah pertempuran melawan Ternate di Lalada pada tahun 1563 M. Dalam pertempuran ini, Raja Makalalo berhasil mengalahkan pasukan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Hairun dan merampas semua harta yang ada di dalam kapal mereka. Kemenangan ini membuat Raja Makalalo mendapat julukan “Punu’ Lalada” atau “Raja Lalada”.
Raja Makalalo juga dikenal sebagai raja yang bijaksana dan adil dalam mengatur pemerintahan dan kehidupan rakyatnya. Ia menerapkan sistem musyawarah dalam setiap keputusan dan menghormati adat istiadat yang telah ada sejak zaman Raja Tadohe. Ia juga membangun tempat-tempat ibadah yang disebut sigi, yang berfungsi sebagai tempat penyembahan kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa).
Raja Makalalo wafat pada tahun 1580 M dan digantikan oleh putranya, Raja Mokodompit. Makam Raja Makalalo berada di Desa Matali, Kecamatan Kotamobagu Timur, Sulawesi Utara. Makam ini menjadi salah satu situs sejarah yang menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Bolaang Mongondow di masa lalu.
Raja Mokodompit (1540-1600)
Raja Mokodompit adalah salah satu raja terkenal dari Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Raja Mokodompit memerintah pada tahun 1540-1600 M, dan dikenal sebagai penguasa yang membangun kerajaan dan menjalin hubungan dengan Ternate, salah satu kerajaan Islam terkuat di Nusantara saat itu.
Mokodompit adalah putra dari Raja Makalalo, yang bertahta di Manado sebagai Raja Manado dan Bolaang. Makalalo meninggal pada tahun 1540 M, dan Mokodompit mewarisi tahta kerajaan. Mokodompit kemudian memindahkan ibu kota kerajaan dari Manado ke Bolaang, yang terletak di tepi pantai utara wilayah Bolaang Mongondow. Mokodompit juga memperluas wilayah kerajaan dengan menaklukkan beberapa daerah di sekitarnya, seperti Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, dan Manado.
Selain memperkuat kerajaan, Mokodompit juga menjalin hubungan dengan Ternate, yang saat itu merupakan pusat perdagangan rempah-rempah dan penyebaran Islam di Nusantara. Mokodompit mengirimkan utusan ke Ternate untuk mengajak kerjasama dan mengakui kedaulatan Ternate atas wilayahnya. Mokodompit juga menerima utusan dari Ternate yang membawa agama Islam dan budaya Melayu. Mokodompit kemudian memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Mokodompit. Ia juga mengadopsi sistem pemerintahan dan adat istiadat yang berdasarkan hukum Islam dan tradisi Melayu.
Hubungan antara Bolaang Mongondow dan Ternate tidak selalu harmonis, karena terkadang terjadi persaingan dan konflik. Namun, hubungan ini tetap memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, terutama dalam hal perdagangan dan pertahanan. Bolaang Mongondow mendapatkan akses ke pasar rempah-rempah dan barang-barang lain yang dibawa oleh pedagang dari Ternate, serta perlindungan dari serangan musuh. Ternate mendapatkan dukungan militer dan politik dari Bolaang Mongondow, serta sumber daya alam dan tenaga kerja dari wilayahnya.
Raja Mokodompit 1540 Bolaang Mongondow adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Sulawesi Utara, yang berhasil membangun kerajaan dan menjalin hubungan dengan Ternate. Ia meninggalkan warisan yang berpengaruh bagi masyarakat dan budaya Bolaang Mongondow, yang masih dapat dilihat hingga saat ini.
Raja Mokoagow: Penguasa Kerajaan Bolaang Mongondow yang Berjaya pada Abad ke-17
Kerajaan Bolaang Mongondow adalah nama kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Saat didirikan pada sekitar tahun 1400, raja pertama Bolaang Mongondow adalah Mokodoludut. Pada puncak kejayaannya, wilayah kerajaan meliputi Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, serta Manado. Memasuki abad ke-18, VOC mulai melakukan aneksasi yang menyebabkan wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow semakin berkurang.
Salah satu raja yang berkuasa pada masa keemasan Kerajaan Bolaang Mongondow adalah Raja Mokoagow. Ia naik tahta pada tahun 1600 M, menggantikan ayahnya, Raja Mokodompit, yang memindahkan ibu kota kerajaan dari Dumoga ke Kotobangon. Raja Mokoagow dikenal sebagai penguasa yang berani dan bijaksana, yang berhasil mempertahankan wilayah kerajaannya dari serangan Ternate dan Spanyol. Ia juga memperluas pengaruhnya ke daerah Minahasa, Manado, dan Tonsea, dengan menjalin hubungan baik dengan raja-raja setempat.
Raja Mokoagow meninggal pada tahun 1620 M dan digantikan oleh putranya, Raja Tadohe, yang melanjutkan kebijakan ayahnya dalam mengatur kerajaan. Raja Mokoagow dihormati sebagai salah satu tokoh besar dan pahlawan di Bolaang Mongondow, bahkan sampai sekarang. Nama beliau diabadikan sebagai nama bandara di kawasan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, yang disebut Bandara Raja Loloda Mokoagow. Nama Loloda Mokoagow merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada raja Bolaang Mongondow yang berjasa besar bagi rakyatnya.
Raja Mokoagow adalah salah satu contoh dari raja-raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang memiliki semangat dan visi yang tinggi dalam membangun dan mempertahankan kerajaannya. Ia juga menunjukkan sikap toleran dan kerjasama dengan raja-raja lain di sekitarnya, sehingga menciptakan suasana damai dan harmonis. Raja Mokoagow layak menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara, untuk terus berjuang dan berkarya bagi kemajuan negeri ini.
Raja Tadohe (1620-1650 M)
Raja Tadohe adalah salah satu raja yang berkuasa di Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Raja Tadohe memerintah pada tahun 1620-1650 M. Ia dikenal sebagai raja yang memperkenalkan adat istiadat dan bentuk pemerintahan yang baru, di mana setiap keputusan selalu dilandasi musyawarah. Ia juga membentuk dan menamai desa-desa yang dikepalai seorang kepala desa. Di setiap desa, ia membangun tempat upacara yang disebut sigi, yang berfungsi sebagai tempat penyembahan kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa).
Pada masa kekuasaan Raja Tadohe, Kerajaan Bolaang Mongondow berhasil mengalahkan Ternate dari Lalada dan merampas semua harta yang ada di dalam kapal. Raja Tadohe juga memperluas wilayah kerajaan meliputi Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, serta Manado. Raja Tadohe dianggap sebagai raja yang bijaksana, adil, dan berwibawa. Ia meninggal pada tahun 1650 M dan digantikan oleh putranya, Datu Binangkang.
Datu Binangkang (1650-1695 M)
Datu Binangkang adalah salah satu raja terkenal dari Kerajaan Bolaang Mongondow, yang berkuasa pada tahun 1650-1695 M. Ia dikenal sebagai raja yang cerdik, berani, dan berwibawa, yang berhasil memperluas wilayah dan pengaruh kerajaannya di Sulawesi Utara. Nama Datu Binangkang berasal dari kata “binangkang”, yang berarti “telah melakukan tipu, tipu muslihat, tipu daya, memiliki, menaklukan, menguasai, dan lain sebagainya”. Nama ini mencerminkan sifat dan kemampuan Datu Binangkang dalam menghadapi berbagai tantangan dan musuh.
Salah satu prestasi Datu Binangkang adalah mengalahkan Kerajaan Ternate, yang merupakan salah satu kerajaan maritim terkuat di Nusantara pada saat itu. Pada tahun 1670, Datu Binangkang berhasil menyerang dan merampas kapal-kapal Ternate yang sedang berlabuh di Lalada, sebuah pelabuhan di pesisir timur Sulawesi Utara. Dalam kapal-kapal tersebut, Datu Binangkang mendapatkan banyak harta benda, senjata, dan budak-budak. Kemenangan ini membuat Datu Binangkang dijuluki sebagai “Raja Loloda Mokoagow”, yang berarti “raja yang memiliki kepiawaian dalam tipu, tipu muslihat, tipu daya, menguasai, menaklukan, dan lain sebagainya”.
Datu Binangkang juga berhasil menjalin hubungan baik dengan Belanda, yang saat itu sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Datu Binangkang menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1679, yang mengakui kedaulatan Belanda atas wilayah Bolaang Mongondow, tetapi juga memberikan hak-hak istimewa kepada Datu Binangkang dan rakyatnya, seperti bebas pajak, bebas monopoli, dan perlindungan militer. Datu Binangkang juga mendapat gelar-gelar kehormatan dari Belanda, seperti “Koning van Amoera” (Raja Amurang), “Koning van Manado” (Raja Manado), dan “Koning van Bulan” (Raja Bolaang).
Datu Binangkang meninggal pada tahun 1695, dan digantikan oleh putranya, Yakobus Manoppo, yang juga menjadi raja Bolaang Mongondow. Datu Binangkang dianggap sebagai salah satu raja terbaik dan terbesar dalam sejarah Bolaang Mongondow, yang mewariskan warisan budaya, politik, dan ekonomi yang berharga bagi generasi-generasi selanjutnya. Datu Binangkang juga dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia, yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsanya.
Yakobus Manoppo (1695-1731 M)
Yakobus Manoppo adalah raja Bolaang Mongondow yang berkuasa pada tahun 1695-1731 M. Ia adalah putra dari Datu Binangkang, raja sebelumnya yang terkenal karena mengalahkan Ternate dan menjalin hubungan baik dengan Belanda. Yakobus Manoppo mewarisi gelar-gelar kehormatan dari ayahnya, seperti “Koning van Amoera”, “Koning van Manado”, dan “Koning van Bulan”.
Yakobus Manoppo adalah raja Bolaang Mongondow yang pertama mendapatkan pendidikan di Hoofden School Ternate, karena ia telah dibawa oleh pedagang VOC sesudah melalui persetujuan ayahnya. Ia belajar bahasa Belanda, Portugis, dan Melayu, serta ilmu-ilmu pengetahuan dan agama. Ia juga mempelajari seni perang dan diplomasi, yang berguna bagi pemerintahannya.
Yakobus Manoppo melanjutkan kebijakan ayahnya dalam menjaga hubungan baik dengan Belanda, tetapi juga berusaha mempertahankan kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya. Ia menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1700, yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak. Ia juga mengirim utusan-utusan ke berbagai kerajaan di Sulawesi dan Maluku, untuk menjalin kerjasama dan perdamaian.
Yakobus Manoppo juga dikenal sebagai raja yang peduli dengan pembangunan dan kemajuan daerahnya. Ia membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, irigasi, dan benteng-benteng pertahanan. Ia juga mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, dan masjid-masjid. Ia memperkenalkan Islam kepada rakyatnya, dan membangun rumah-rumah penduduk agar masyarakat Bolaang Mongondow tidak lagi hidup berpindah-pindah tempat.
Yakobus Manoppo meninggal pada tahun 1731, dan digantikan oleh putranya, Fransiscus Manoppo, yang juga menjadi raja Bolaang Mongondow. Yakobus Manoppo dianggap sebagai salah satu raja terbaik dan tercendekiawan dalam sejarah Bolaang Mongondow, yang mewariskan warisan budaya, politik, dan ekonomi yang berharga bagi generasi-generasi selanjutnya. Yakobus Manoppo juga dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia, yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsanya.
Fransiscus Manoppo (1731-1735 M)
Raja Fransiscus Manoppo adalah raja ke-10 Kerajaan Bolaang Mongondow, yang berkuasa dari tahun 1731 hingga 1735. Ia adalah putra dari Raja Jacobus Manoppo, yang berhasil memperluas wilayah kerajaan hingga mencakup sebagian Minahasa dan Manado. Raja Fransiscus Manoppo juga dikenal sebagai penganut Islam yang taat, dan membangun masjid-masjid di beberapa desa. Namun, ia juga menghormati kepercayaan masyarakatnya yang masih memuja Ompu Duata, dan tidak memaksakan agama Islam kepada mereka.
Raja Fransiscus Manoppo meninggal pada tahun 1735, dan digantikan oleh saudaranya, Raja Salomon Manoppo. Pada masa pemerintahan Raja Salomon Manoppo, Kerajaan Bolaang Mongondow mulai mengalami kemunduran akibat campur tangan VOC, yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Sulawesi Utara. Kerajaan Bolaang Mongondow akhirnya bergabung dengan NKRI pada tahun 1950, setelah Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo mengundurkan diri.
Raja Salomon Manoppo (1735-1764 M)
Raja Salomon Manoppo adalah salah satu raja Kerajaan Bolaang Mongondow, yang berkuasa dari tahun 1735 hingga 1764. Ia adalah putra dari Raja Yakobus Manoppo, yang meninggal pada tahun 1731. Salomon Manoppo naik tahta setelah kematian saudaranya, Raja Fransiscus Manoppo, yang hanya berkuasa selama empat tahun.
Salomon Manoppo dikenal sebagai raja yang bijaksana dan berani. Ia berhasil mempertahankan kerajaannya dari serangan Belanda, yang ingin menguasai wilayah Sulawesi Utara. Ia juga memperluas pengaruh kerajaannya ke daerah Minahasa, Manado, dan Tonsea, dengan menjalin hubungan baik dengan raja-raja setempat. Ia juga mengembangkan perdagangan dan pertanian di kerajaannya, serta memelihara adat istiadat dan budaya Mongondow.
Salomon Manoppo meninggal pada tahun 1764, dan digantikan oleh putranya, Raja Eugenius Manoppo. Ia dianggap sebagai salah satu raja terbaik dalam sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow, yang berdiri dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Kerajaan Bolaang Mongondow bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950, setelah raja terakhirnya, Henny Yusuf Cornelius Manoppo, mengundurkan diri.
Raja Eugenius Manoppo (1764-1770)
Raja Eugenius Manoppo adalah raja ke-13 Kerajaan Bolaang Mongondow. Ia naik tahta pada tahun 1764, menggantikan ayahnya, Raja Salomon Manoppo, yang meninggal dunia. Raja Eugenius Manoppo adalah raja yang beragama Kristen, seperti ayahnya dan beberapa raja sebelumnya.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan raja Eugenius Manoppo adalah masuknya Islam ke Kerajaan Bolaang Mongondow melalui seorang saudagar Bugis bernama Andi Latai. Andi Latai menikahi putri raja Eugenius Manoppo dan mengajak istrinya masuk Islam. Hal ini menimbulkan konflik antara raja dan putrinya, serta antara pengikut Kristen dan Islam di kerajaan.
Markus Manoppo (1773-1779 M)
Raja Eugenius Manoppo meninggal pada tahun 1770 dan digantikan oleh saudaranya, Raja Christofeel Manoppo. Raja Eugenius Manoppo dimakamkan di Desa Bumbungon, tempat berdirinya istana kerajaan pertama. Makamnya masih dapat dikunjungi hingga saat ini.
Raja Markus Manoppo adalah salah satu raja yang pernah memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Raja Markus Manoppo berkuasa dari tahun 1773 hingga 1779.
Raja Markus Manoppo adalah keturunan dari Mokodoludut, raja pertama Kerajaan Bolaang Mongondow yang diangkat pada tahun 1400 M. Nama Bolaang berasal dari kata bolango atau balangon yang berarti ‘laut’. Sedangkan Mongondow berasal dari kata momondow yang berarti ‘berseru tanda kemenangan’.
Kerajaan Bolaang Mongondow mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Tadohe, yang berhasil mengalahkan Ternate dari Lalada dan merampas semua harta yang ada di dalam kapal. Pada masa itu, wilayah kerajaan meliputi Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, serta Manado.
Namun, pada abad ke-18, Kerajaan Bolaang Mongondow terkena imbas penjajahan karena VOC melakukan aneksasi wilayah dengan jalan politik (kontrak). Akibatnya, wilayah kerajaan semakin berkurang dan tersisa wilayah yang didiami etnik Mongondow. Dengan demikian, kerajaan Bolaang yang dipimpin oleh para Raja Mongondow di abad ke-16 dan 17 ini mengalami penyusutan baik pengaruh maupun wilayahnya.
Raja Markus Manoppo naik tahta pada tahun 1773, menggantikan Raja Christofeel Manoppo yang wafat. Ia adalah raja ke-14 Kerajaan Bolaang Mongondow. Pada masa pemerintahannya, ibu kota kerajaan berpindah-pindah sesuai tempat berdiamnya Raja, seperti di Gunung Babo, Kotobangon, Siauw, Kotamobagu, dan Tudu im Bakid.
Raja Markus Manoppo dikenal sebagai raja yang berwibawa dan berani. Ia juga memiliki hubungan baik dengan raja-raja lain di Sulawesi Utara, seperti Raja Tonsea, Raja Manado, dan Raja Minahasa. Ia juga berusaha mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan kerajaannya dari campur tangan VOC.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya adalah perang antara Kerajaan Bolaang Mongondow dengan Kerajaan Gorontalo pada tahun 1776. Perang ini dipicu oleh perselisihan antara Raja Gorontalo dan Raja Bolaang Mongondow mengenai wilayah perbatasan. Raja Markus Manoppo berhasil memimpin pasukannya untuk mengalahkan pasukan Gorontalo yang lebih banyak dan lebih kuat. Perang ini berakhir dengan perjanjian damai yang menguntungkan Kerajaan Bolaang Mongondow.
Raja Markus Manoppo wafat pada tahun 1779, setelah memerintah selama enam tahun. Ia digantikan oleh Raja Cornelis Manoppo, yang merupakan putranya. Makam Raja Markus Manoppo berada di Desa Kotobangon, Kecamatan Kotobangon, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Cornelis Manoppo (1811-1829 M)
Raja Cornelis Manoppo adalah salah satu raja yang pernah memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Raja Cornelis Manoppo berkuasa dari tahun 1811 hingga 1829.
Raja Cornelis Manoppo adalah putra dari Raja Markus Manoppo, yang wafat pada tahun 1779. Ia adalah raja ke-15 Kerajaan Bolaang Mongondow. Nama Bolaang berasal dari kata bolango atau balangon yang berarti ‘laut’. Sedangkan Mongondow berasal dari kata momondow yang berarti ‘berseru tanda kemenangan’.
Kerajaan Bolaang Mongondow mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Tadohe, yang berhasil mengalahkan Ternate dari Lalada dan merampas semua harta yang ada di dalam kapal. Pada masa itu, wilayah kerajaan meliputi Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, serta Manado.
Namun, pada abad ke-18, Kerajaan Bolaang Mongondow terkena imbas penjajahan karena VOC melakukan aneksasi wilayah dengan jalan politik (kontrak). Akibatnya, wilayah kerajaan semakin berkurang dan tersisa wilayah yang didiami etnik Mongondow. Dengan demikian, kerajaan Bolaang yang dipimpin oleh para Raja Mongondow di abad ke-16 dan 17 ini mengalami penyusutan baik pengaruh maupun wilayahnya.
Raja Cornelis Manoppo naik tahta pada tahun 1811, menggantikan Raja Manuel Manoppo yang wafat. Ia adalah raja pertama yang memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow setelah ibu kota kerajaan dipindahkan ke Kotobangon pada tahun 1800. Pada masa pemerintahannya, ia berusaha mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan kerajaannya dari campur tangan VOC.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya adalah perang antara Kerajaan Bolaang Mongondow dengan Kerajaan Gorontalo pada tahun 1816. Perang ini dipicu oleh perselisihan antara Raja Gorontalo dan Raja Bolaang Mongondow mengenai wilayah perbatasan. Raja Cornelis Manoppo berhasil memimpin pasukannya untuk mengalahkan pasukan Gorontalo yang lebih banyak dan lebih kuat. Perang ini berakhir dengan perjanjian damai yang menguntungkan Kerajaan Bolaang Mongondow.
Raja Cornelis Manoppo wafat pada tahun 1829, setelah memerintah selama 18 tahun. Ia digantikan oleh Raja Ismail Cornelis Manoppo, yang merupakan putranya. Makam Raja Cornelis Manoppo berada di Desa Kotobangon, Kecamatan Kotobangon, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Ismail Cornelis Manoppo (1829-1833 M)
Raja Ismail Cornelis Manoppo adalah raja ke-17 Kerajaan Bolaang Mongondow. Ia naik tahta pada tahun 1829, menggantikan ayahnya, Raja Cornelis Manoppo, yang meninggal pada tahun yang sama. Raja Ismail Cornelis Manoppo adalah raja yang berdarah campuran Belanda dan Mongondow, karena ibunya adalah seorang wanita Belanda bernama Maria Elisabeth van der Wijck. Nama Ismail Cornelis Manoppo menunjukkan pengaruh Kristen yang kuat di kerajaan tersebut, karena Ismail adalah nama nabi dalam Alkitab, sedangkan Cornelis adalah nama Belanda.
Raja Ismail Cornelis Manoppo memerintah selama empat tahun, hingga tahun 1833, ketika ia digulingkan oleh pamannya, Raja Jakobus Manuel Manoppo, yang merupakan saudara kandung Raja Cornelis Manoppo. Raja Jakobus Manuel Manoppo tidak senang dengan kebijakan Raja Ismail Cornelis Manoppo yang dianggap terlalu pro-Belanda dan mengabaikan kepentingan rakyat Mongondow. Raja Jakobus Manuel Manoppo kemudian mengusir Raja Ismail Cornelis Manoppo dan keluarganya dari kerajaan, dan mengambil alih tahta sebagai raja ke-18.
Kerajaan Bolaang Mongondow
Kerajaan Bolaang Mongondow adalah nama kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Nama Bolaang berasal dari kata bolango atau balangon yang berarti ‘laut’, sedangkan Mongondow berasal dari kata momondow yang berarti ‘berseru tanda kemenangan’. Kerajaan ini didirikan oleh Raja Mokodoludut pada tahun 1400, yang merupakan keturunan dari Suku Mongondow, salah satu suku asli di Sulawesi Utara.
Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan meliputi Bolaang, Kotamobagu, Kotabunan, sebagian wilayah Minahasa, serta Manado. Kerajaan ini memiliki hubungan dagang dan politik dengan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi, Maluku, dan Nusantara. Kerajaan ini juga berinteraksi dengan bangsa-bangsa asing, seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan Tiongkok. Kerajaan ini menganut agama animisme, Hindu, Islam, dan Kristen, sesuai dengan perkembangan zaman dan pengaruh luar.
Memasuki abad ke-18, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran, akibat dari aneksasi wilayah oleh VOC dengan jalan politik (kontrak) dan perang saudara antara raja-raja dan bangsawan. Wilayah kerajaan semakin berkurang, dan hanya tersisa wilayah yang didiami oleh etnik Mongondow. Kerajaan ini kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Bolaang Mongondow, untuk membedakannya dari Kerajaan Bolaang yang lebih luas dan beragam.
Adreanus Cornelis Manoppo (1858-1862 M)
Raja Adreanus Cornelis Manoppo naik tahta pada tahun 1858, setelah sebelumnya menjadi raja muda yang membantu pemerintahan ayahnya. Ia adalah raja ke-18 dari dinasti Manoppo, yang memerintah sejak tahun 1695. Ia juga merupakan raja pertama yang menggunakan nama belakang Manoppo, yang berasal dari kata manopu yang berarti ‘berani’.
Raja Adreanus Cornelis Manoppo memerintah di tengah-tengah masa penjajahan Belanda di Indonesia. Ia berusaha untuk menjaga kemerdekaan dan kedaulatan kerajaannya dari campur tangan Belanda, yang ingin menguasai sumber daya alam dan perdagangan di wilayahnya. Ia juga berupaya untuk mempertahankan hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Gorontalo, Buol, dan Sangihe.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya adalah perang saudara yang meletus pada tahun 1861, antara pihaknya dengan paman dan sepupunya, yang tidak puas dengan kebijakan-kebijakannya. Perang saudara ini berakhir dengan kemenangan Raja Adreanus Cornelis Manoppo, yang berhasil mengalahkan dan menangkap para pemberontak.
Raja Adreanus Cornelis Manoppo meninggal pada tahun 1862, setelah memerintah selama empat tahun. Ia digantikan oleh putranya, Raja Yohanes Manuel Manoppo, yang melanjutkan pemerintahan kerajaan. Makam Raja Adreanus Cornelis Manoppo berada di Desa Bolaang, Kecamatan Bolaang, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Yohanes Manuel Manoppo (1862-1880 M)
Raja Yohanes Manuel Manoppo adalah salah satu raja Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Ia memerintah dari tahun 1862 hingga 1880 M. Berikut adalah beberapa informasi tentang Raja Yohanes Manuel Manoppo dan Kerajaan Bolaang Mongondow:
- Raja Yohanes Manuel Manoppo adalah keturunan dari Mokodoludut, raja pertama Bolaang Mongondow yang diangkat pada tahun 1400 M.
- Raja Yohanes Manuel Manoppo adalah raja ke-19 dari dinasti Manoppo yang memimpin Kerajaan Bolaang Mongondow sejak tahun 1695 M.
- Raja Yohanes Manuel Manoppo adalah salah satu raja yang beragama Islam, sebagaimana pendahulunya Raja Jakobus Manuel Manoppo yang menjadi muslim pada abad ke-18.
- Raja Yohanes Manuel Manoppo menghadapi tantangan dari VOC yang mulai melakukan aneksasi wilayah kerajaan dengan jalan politik (kontrak), sehingga mengurangi luas dan pengaruh Kerajaan Bolaang Mongondow.
- Raja Yohanes Manuel Manoppo meninggal pada tahun 1880 M dan digantikan oleh Raja Abraham Sugeha atau Datu Pinonigad.
Abraham Sugeha (1880-1893 M)
Raja Abraham Sugeha atau Datu Pinonigad adalah raja ke-19 Kerajaan Bolaang Mongondow, yang berkuasa dari tahun 1880 hingga 1893. Ia adalah putra dari Raja Johanes Manuel Manoppo, yang meninggal pada tahun 1880. Raja Abraham Sugeha meneruskan kebijakan ayahnya dalam menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial Belanda, yang saat itu menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi Utara. Ia juga berusaha memajukan perekonomian dan pendidikan kerajaannya, serta mengembangkan budaya dan adat istiadat Mongondow.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Abraham Sugeha adalah perang saudara antara Bolaang Mongondow dan Bolaang Uki, yang merupakan salah satu daerah otonom di bawah kerajaan. Perang saudara ini dipicu oleh perselisihan antara Raja Abraham Sugeha dan Datu Bolaang Uki, yang tidak puas dengan perlakuan Belanda terhadap kerajaan. Perang saudara ini berlangsung selama tiga tahun, dari tahun 1888 hingga 1891, dan menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan. Akhirnya, perang saudara ini berakhir dengan campur tangan Belanda, yang memaksa kedua belah pihak untuk berdamai dan mengakui kekuasaan Belanda.
Raja Abraham Sugeha meninggal pada tahun 1893, dan digantikan oleh putranya, Raja Riedl Manuel Manoppo, yang menjadi raja terakhir Kerajaan Bolaang Mongondow. Kerajaan Bolaang Mongondow sendiri berakhir pada tahun 1950, ketika Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo mengeluarkan maklumat untuk bergabung dengan Republik Indonesia dan mengundurkan diri dari jabatannya. Sejak saat itu, bekas wilayah kerajaan menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara.
Riedl Manuel Manoppo (1893-1905 M)
Raja Riedl Manuel Manoppo adalah raja ke-20 Kerajaan Bolaang Mongondow, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi Utara dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Ia memerintah kerajaan tersebut dari tahun 1893 hingga 1905.
Raja Riedl Manuel Manoppo adalah putra dari Raja Abraham Sugeha atau Datu Pinonigad, yang memerintah dari tahun 1880 hingga 1893. Ia berasal dari dinasti Manoppo, yang merupakan keturunan dari Raja Jakobus Manuel Manoppo, raja pertama yang memeluk agama Islam di Bolaang Mongondow pada abad ke-19.
Raja Riedl Manuel Manoppo memiliki nama asli Riedl Cornelis Manoppo, tetapi ia mengubah namanya menjadi Riedl Manuel Manoppo untuk menghormati nenek moyangnya yang bernama Manuel. Ia juga dikenal dengan nama Datu Cornelis Manoppo.
Raja Riedl Manuel Manoppo naik tahta pada tahun 1893, menggantikan ayahnya yang meninggal dunia. Ia meneruskan kebijakan ayahnya yang berusaha menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial Belanda, yang saat itu telah menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi Utara.
Raja Riedl Manuel Manoppo juga berusaha memajukan kerajaan Bolaang Mongondow di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Ia membangun infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan irigasi. Ia juga mendukung perkembangan pendidikan, kesehatan, dan agama di kerajaannya.
Salah satu peninggalan Raja Riedl Manuel Manoppo yang masih dilestarikan hingga kini adalah tata letak lapangan di Kotamobagu, ibu kota Bolaang Mongondow saat itu. Ia yang mengusulkan perencanaan tata letak lapangan tersebut, yang kemudian menjadi pusat kegiatan masyarakat.
Raja Riedl Manuel Manoppo meninggal dunia pada tahun 1905, setelah memerintah selama 12 tahun. Ia dimakamkan di Kotamobagu, di dekat makam ayahnya. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Datu Cornelius Manoppo, yang menjadi raja terakhir Bolaang Mongondow sebelum bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Datu Cornelius Manoppo (1928-1947 M)
Raja Datu Cornelius Manoppo dilantik menjadi raja oleh Belanda pada tahun 1901, setelah Raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda. Ia mendirikan komalig (istana raja) di Kotobangon, yang menjadi ibu kota kerajaan pada masa pemerintahannya.
Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan berjumlah 41.417 jiwa. Pada zaman pemerintahannya, agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866.
Raja Datu Cornelius Manoppo juga dikenal sebagai raja yang peduli dengan pendidikan. Ia mendirikan sekolah-sekolah di wilayah kerajaannya, seperti Sekolah Rakyat di Kotobangon, Sekolah Guru di Kotamobagu, dan Sekolah Menengah Pertama di Kotobangon.
Raja Datu Cornelius Manoppo meninggal dunia pada 12 Februari 1927 dan dimakamkan di Kotobangon. Ia digantikan oleh putranya, Henny Yusuf Cornellius Manoppo, yang menjadi raja hingga tahun 1950.
Pada 1 Juli 1950, Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo mengeluarkan maklumat tentang bergabung ke Republik Indonesia dan pengunduran dirinya sebagai raja. Dengan demikian, bekas kerajaan Bolaang Mongondow menjadi Daerah Tingkat II dalam Provinsi Sulawesi yang beribukota di Makassar saat itu.
Raja Datu Cornelius Manoppo meninggalkan beberapa peninggalan yang sampai saat ini masih dilestarikan di Bolaang Mongondow raya, seperti:
- Komalig (istana raja) di Kotobangon, yang menjadi saksi bisu sejarah kerajaan Bolaang Mongondow. Di dalam komalig, terdapat berbagai benda-benda bersejarah, seperti singgasana raja, pakaian adat, senjata, perhiasan, dan dokumen-dokumen penting.
- Makam raja-raja Bolaang Mongondow di Kotobangon, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir para penguasa kerajaan. Makam-makam ini memiliki arsitektur yang unik dan berbeda-beda sesuai dengan zaman dan gaya masing-masing raja.
- Masjid Agung Bolaang Mongondow di Kotamobagu, yang merupakan masjid tertua di Sulawesi Utara. Masjid ini dibangun pada tahun 1866 oleh Raja Datu Aloewi, yang merupakan raja pertama yang memeluk agama Islam. Masjid ini memiliki arsitektur yang khas dengan atap berbentuk limas dan menara berbentuk kerucut.
Henny Yusuf Cornellius Manoppo (1947-1950 M)
Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow pada masa yang penuh dengan perubahan dan tantangan. Ia menghadapi ancaman dari Belanda, yang mulai melakukan aneksasi terhadap wilayah kerajaan sejak abad ke-18. Ia juga menghadapi perkembangan nasionalisme dan gerakan kemerdekaan Indonesia, yang menuntut pengakuan atas kedaulatan dan persatuan bangsa.
Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo berusaha untuk menjaga kesejahteraan dan keamanan rakyatnya, serta menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak lain. Ia mengadakan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur. Ia juga mengirimkan utusan-utusannya ke Jakarta untuk berkomunikasi dengan pemerintah pusat Indonesia.
Pada tanggal 1 Juli 1950, Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo mengumumkan pengunduran dirinya sebagai raja Kerajaan Bolaang Mongondow. Ia menyatakan bahwa ia bersedia untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan pengunduran dirinya, Kerajaan Bolaang Mongondow resmi berakhir sebagai sebuah entitas politik. Wilayah kerajaan kemudian menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, dengan status sebagai Kabupaten Bolaang Mongondow.
Raja Henny Yusuf Cornellius Manoppo meninggal pada tahun 1986. Ia dimakamkan di Desa Bumbungon, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow. Ia dihormati sebagai salah satu tokoh sejarah dan budaya Sulawesi Utara, yang berjasa dalam mempertahankan dan melestarikan warisan Kerajaan Bolaang Mongondow. (***)