Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Revisi Luas Undang-undang Desa

Pemerintah yang tanggap ing sasmita gandrung memperbarui kebijakannya, agar sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.

Revisi atau perubahan regulasi secara berkala lumrah dilakukan oleh pemerintah berciri demikian. UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang dibuat menjelang berakhirnya masa jabatan periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini hampir berumur 10 tahun. Tentu dalam implementasinya oleh Presiden Joko Widodo sejak 2014 hingga 2023 ini dijumpai berbagai kekurangan. Karena itu, sudah pada tempatnya jika pemerintah dan DPR bertekad mengubahnya.

Hanya saja, yang agak di luar pakem adalah prakarsa perubahan UU Desa itu oleh DPR, bukan oleh pemerintah yang telah bertahun-tahun mengeksekusinya. Selain itu, keganjilan juga tampak di dalam substansi revisi yang hanya menitikberatkan pada penambahan masa jabatan kepala desa, dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan peningkatan jumlah dana desa, dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar per desa, atau naik 100 persen.

Isi revisi UU Desa persis sama pula dengan suara ribuan kepala desa dalam demonstrasi di depan gedung DPR pada Januari lalu. Padahal, dari banyak studi, isu-isu desa yang layak diakomodasi ke dalam agenda perubahan kebijakan banyak sekali, tetapi sayangnya tidak disentuh Dewan. Penyusunannya pun dilakukan hanya 19 hari. Tak ada sama sekali partisipasi publik.

Pantas apabila ramai tudingan miring dialamatkan publik ke Senayan terkait dugaan barter antara parpol selaku pembuat revisi UU Desa itu dan suara orang desa yang akan dicarikan kepala desa pada pemilu 14 Februari 2024. Bagaimana sebaiknya pemerintah merespons usulan perubahan terbatas UU Desa Nomor 6/2014 sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat desa?

Selain itu, keganjilan juga tampak di dalam substansi revisi yang hanya menitikberatkan pada penambahan masa jabatan kepala desa, dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan peningkatan jumlah dana desa, dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar per desa, atau naik 100 persen.

Tak gatal digaruk

Masyarakat desa tidak sama dengan masyarakat kota. Jumlah penduduknya pun semakin menurun, bahkan kini penduduk yang tinggal di perkotaan lebih banyak. Kehidupan mereka sederhana. Mayoritas mencari nafkah di bidang pertanian. Ikatan sosial, adat, tradisi, dan budayanya lumayan kuat. Sementara tingkat pendidikannya relatif rendah. Mereka dulu mempunyai sistem pemerintahan sendiri-sendiri (self governing community). Sering disebut juga dengan istilah otonomi asli, sesuai hak asal-usul dan tradisi seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, gampong di Aceh, dan marga di Palembang.

Negara berdasarkan asas rekognisi menghormati dan mengakuinya serta di dalam pembuatan segala peraturan perundang-undangan perlu memperhatikannya. Masalah muncul ketika negara masuk dengan rinci mengatur desa secara nasional lewat UU dan lupa mengingat hak-hak asal-usul desa tersebut.

Pengaturan desa yang terakhir, misalnya, yaitu UU Nomor 6/2014, mengonfirmasi hal itu. Pertama, penyelenggaraan pemerintahan desa diatur seragam, padahal desa di Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya lebih dari 70.000 sangat beragam.

Kedua, penyelenggaraan pembangunan desa diatur sangat birokratis-teknokratis, atau rumit berbelit, gaya pembangunan daerah yang memiliki otonomi berdasarkan transfer kewenangan dari pemerintah pusat, padahal kapasitas SDM desa terbatas dan perangkatnya bukan PNS.

Ketiga, tidak terintegrasinya penanggung jawab desa di tingkat pusat. Kementerian Dalam Negeri menangani pemerintahan desa, Kementerian Desa soal pembangunan dan pemberdayaan, serta Kementerian Keuangan terkait dana desa. Berbagai macam aturan dan program dari kementerian tersebut sangat berorientasi pusat sehingga kerap tidak sesuai dengan kepentingan desa.

Keempat, lemahnya partisipasi masyarakat desa, terganggunya gotong royong, dan tergantungnya kepada pihak supradesa. Maka, apabila UU Desa mau direvisi, substansinya hendaknya ditujukan untuk mengoreksi keempat hal tersebut. Bukan untuk memperlama masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun; yang dapat melemahkan demokrasi desa, memicu korupsi pemerintahan desa, dan mengkhianati amanat reformasi. Alhasil, revisi UU Desa prakarsa DPR ibarat pepatah ”lain yang gatal, lain pula yang digaruk”.

Adapun terkait penambahan dana desa dari rata-rata Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar per desa, hal itu dapat dipertimbangkan pemerintah sepanjang kemampuan keuangan negara mendukung. Itu pun seyogianya dengan beberapa syarat, yaitu diperbaiki dulu tata kelola dana desa agar tertib administrasi (perencanaan dan penganggaran).

Selain itu, dilibatkan kelompok-kelompok masyarakat supaya kepala desa tidak one man show, diperkuat pengawasannya oleh camat guna mencegah penyimpangan, dan disiapkan fasilitator yang tidak terafiliasi partai politik tertentu.

Selain itu, dilibatkan kelompok-kelompok masyarakat supaya kepala desa tidak one man show, diperkuat pengawasannya oleh camat guna mencegah penyimpangan, dan disiapkan fasilitator yang tidak terafiliasi partai politik tertentu. Juga, disatukan penanggung jawab desa di tingkat pusat, apakah di Kemendagri atau di Kemendes saja.

Perbaikan kebijakan

Agar revisi bisa berarti bagi pengembangan otonomi asli, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan perbaikan pelayanan publik tingkat desa, perlu diperbaiki paling tidak sepuluh masalah paling mengemuka di desa dewasa ini.

Pertama, kewenangan lokal skala desa yang tidak jelas, kewenangan delegatif dari pemerintah tingkat atas yang minim, dan hak asal-usul serta hak tradisional desa yang kurang berkembang.

Kedua, desain kelembagaan badan permusyawaratan desa (BPD) yang permanen mirip DPRD tampak tidak efisien dan efektif, bahkan cenderung mereduksi partisipasi lembaga adat.

Ketiga, set-up organisasi perangkat desa mengabaikan tradisi desa, pengangkatannya berbasis tim sukses kepala desa, bukan kompetensi dalam mengelola administrasi desa dan penghasilannya rendah.

Keempat, untuk keuangan desa, belum ada pos dana alokasi khusus untuk membiayai kewenangan dan pelayanan publik skala desa. Bantuan keuangan provinsi/kabupaten kepada desa belum teratur dan minim manfaat bagi masyarakat desa. Format anggaran pendapatan dan belanja desa terlalu canggih dan kurang akuntabel.

Kelima, format peraturan desa ala peraturan daerah menyulitkan perangkat desa untuk menyusunnya. Tak seperti model regulasi asli mereka yang lebih sederhana (awik-awik di Bali).

Keenam, pemilihan kepala desa (pilkades) serentak ala pilkada salah kaprah. Mestinya pilkades mengikuti berakhirnya masa jabatan kepala desa seperti dulu. Akibatnya, biaya pilkades menjadi mahal dan ditangung APBD kabupaten, risiko keamanan tinggi, dan kebutuhan sinkronisasi perencanaan pembangunan tidak ada.

Masa jabatan kepala desa sebaiknya lima tahun, atau paling banter enam tahun, dengan limit dua periode sebagaimana halnya dengan jabatan bupati/wali kota, gubernur, dan presiden (jajak pendapat Kompas, 31/7/2023). Desa yang memiliki tradisi berbeda sesuai dengan ketentuan adatnya dapat dikecualikan, termasuk sistem pilkadesnya tak harus langsung.

Ketujuh, pengaturan badan usaha milik desa (BUMDes) sangat sumir di dalam UU Desa, padahal hal itu berpotensi menggerakkan kemajuan perekonomian desa. Perlu ditambahkan pengaturannya secara lebih rinci dan lengkap. Alangkah lebih baik jika dibuatkan UU BUMDesa sendiri.

Kedelapan, pengaturan kerja sama desa-kota belum ada, padahal kolaborasi desa-kota tidak kalah penting dibandingkan dengan kerja sama antardesa karena dapat mengembangkan perekonomian desa dan mempercepat kesejahteraan masyarakat.

Kesembilan, pengembangan sistem digitalisasi desa melalui dukungan pemda guna memperbaiki pelayanan publik desa belum ada, sedangkan yang diatur di dalam UU Desa baru menyangkut sistem informasi desa.

Kesepuluh, pengaturan mekanisme perlindungan hukum bagi kepala desa belum ada. Padahal, kasus hukum yang dilakukan mereka gara-gara serampangan mengelola dana desa makin meningkat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2015-2022 mencatat 601 kasus korupsi dana desa dengan 686 tersangka. Baiknya aparat penegak hukum (APH), jika menerima pengaduan dugaan penyimpangan dari masyarakat, menyerahkan dulu kepada aparat pengawasan internal pemerintah (APIP). Temuannya bisa berbentuk pelanggaran administrasi dan atau hukum. Jika terjadi pelanggaran hukum, APIP menyerahkannya kepada APH untuk diproses secara hukum sehingga keluhan ”kriminalisasi” terhadap kepala desa bisa dieliminasi.

Tentu Presiden Joko Widodo sebagai policy maker-in-chief telah memiliki hasil evaluasi UU Nomor 6/2014 yang dijalankannya selama dua periode. Agaknya tidak sulit bagi pemerintah untuk menyempurnakan RUU Desa prakarsa DPR yang kental dengan politik transaksional. Revisi terbatas UU Desa prakarsa DPR sebaiknya di-upgrade menjadi revisi luas oleh pemerintah.

Share:

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.