Pada Kamis, 28 Maret 2024, sebuah langkah bersejarah terjadi di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, ketika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan revisi Undang-Undang Desa menjadi Undang-Undang.
Momentum ini menjadi tonggak penting dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.
Ketua DPR, Dr. (H.C) Puan Maharani, memimpin Paripurna dengan membawa pertanyaan kunci kepada seluruh anggota dewan:
“Selanjutnya kami akan menanyakan ke setiap fraksi apakah Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang? Setuju ya.” dikutip dari tempo.co (5/4/2024).
Pertanyaan ini disambut oleh anggota dewan dengan suara bulat “Setuju”, termasuk di antaranya adalah sejumlah kepala desa yang menyambut dengan sukacita pengesahan RUU Desa menjadi UU.
Dalam revisi Undang-Undang tersebut, sejumlah pasal diatur, termasuk Pasal 39 yang mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Awalnya, masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 3 kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak.
Namun, dengan revisi ini, masa jabatan tersebut diperpanjang menjadi 8 tahun dan kepala desa hanya dapat dipilih paling banyak 2 kali masa jabatan.
Namun, pertanyaan muncul mengenai nasib kepala desa yang masa jabatannya belum habis ketika Undang-Undang ini disahkan.
Apakah mereka harus tetap melanjutkan masa jabatan hingga 8 tahun atau ada mekanisme peralihan yang harus diikuti?
Pasal 118 dari Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.