Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakilnya di berbagai tingkat pemerintahan.
Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu yang berkualitas, semua pihak yang terlibat harus menjaga netralitas dan tidak melakukan kecurangan.
Salah satu pihak yang harus netral dalam Pemilu adalah aparatur pemerintahan desa, yaitu kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa (BPD).
Aparatur pemerintahan desa memiliki peran penting dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di tingkat desa. Mereka juga berhubungan langsung dengan masyarakat desa, sehingga memiliki pengaruh dalam membentuk opini dan sikap politik masyarakat.
Namun, netralitas aparatur pemerintahan desa sering kali terancam oleh keterlibatan mereka dalam kampanye Pemilu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kampanye Pemilu adalah kegiatan untuk memperkenalkan dan mempromosikan visi, misi, program, dan citra diri peserta Pemilu kepada pemilih. Kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh peserta Pemilu sendiri, tim kampanye, atau pihak lain yang mendukung peserta Pemilu.
Keterlibatan aparatur pemerintahan desa dalam kampanye Pemilu dapat berupa menjadi pelaksana atau tim kampanye, membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu, atau mengajak atau mempengaruhi masyarakat desa untuk memilih salah satu peserta Pemilu.
Perilaku-perilaku tersebut dapat mengganggu netralitas aparatur pemerintahan desa, merusak iklim demokrasi, dan merugikan hak-hak pemilih.
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur larangan dan sanksi bagi aparatur pemerintahan desa yang terlibat dalam kampanye Pemilu. Berikut ini adalah beberapa ketentuan yang berkaitan dengan hal tersebut: