Jakarta – Menjelang Pemilu 2024, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Pasalnya, jika terbukti melanggar aturan, mereka bisa dikenakan sanksi pemecatan dan pidana.
Staf Ahli Bawaslu RI Rekson Nababan mengatakan bahwa sanksi pemecatan dan pidana bisa diberikan kepada petugas KPPS yang melakukan manipulasi surat suara, membiarkan pemilih mencoblos lebih dari satu kali, menggunakan form C-6 orang lain, atau terlibat dalam suap atau politik uang.
“Jika terbukti melakukan pelanggaran, secara administratif, bisa dipecat dan secara hukum tetap diproses secara hukum,” ujar Rekson di Jakarta, Sabtu (18/2).
Selain itu, petugas KPPS juga bisa dipidanakan jika ada pemilih yang melaporkan bahwa dirinya tidak diakomodasi untuk melakukan pencoblosan pada hari H pemungutan suara. Padahal, pemilih yang bersangkutan telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU Pilkada atau PKPU.
“Apalagi kalau petugas KPPS terbukti terlibat dalam suap atau politik uang, pasti langsung kena pidana pemilu,” tandas dia.
Rekson menambahkan bahwa sanksi administrasi bisa juga dalam bentuk rekomendasi pemilihan suara ulang (PSU), penghitungan suara ulang sampai pada pembatalan pasangan calon. PSU dilakukan jika terjadi kesalahan prosedur penyelenggaraan pemungutan suara di TPS.
“PSU bisa terjadi di TPS, di mana pemilihnya memilih lebih dari satu kali, atau kesalahan prosedur membuka kotak suara,” ungkap dia.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau wajib pajak (WP) yang belum melaporkan harta hingga tahun pajak 2020 untuk mengikuti program Pajak Penghasilan Sederhana (PPS). Program ini memberikan keringanan bagi WP yang mengungkapkan harta yang belum dilaporkan sebelumnya.
“Wajib pajak akan terbebas dari sanksi administratif dan memperoleh perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana pajak terkait harta yang diikutsertakan dalam PPS,” tulis DJP.
Adapun program PPS dilaksanakan selama 6 bulan hingga akhir Juni 2022. Besaran sanksi berada di rentang 200-300 persen. DJP mengklaim bahwa program ini sudah menghasilkan Rp 3,1 triliun dari 1,2 juta WP yang mengikuti program ini. (***)