Politik praktis adalah kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi kebijakan publik atau memperoleh kekuasaan politik.
Politik praktis dapat dilakukan oleh partai politik, calon pemimpin, kelompok kepentingan, atau individu. Politik praktis dapat berbentuk kampanye, lobi, demonstrasi, atau bentuk lainnya.
Dalam konteks demokrasi, politik praktis seharusnya menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara yang memiliki hak pilih.
Namun, tidak semua pihak dapat melakukan politik praktis secara bebas dan tanpa batas. Ada beberapa pihak yang harus menjaga netralitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka, salah satunya adalah aparatur desa.
Aparatur desa adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola dan melayani kepentingan masyarakat desa. Aparatur desa terdiri dari kepala desa, sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, pelaksana teknis, dan badan permusyawaratan desa (BPD).
Aparatur desa memiliki peran penting dalam pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan desa.
Oleh karena itu, aparatur desa harus menjaga netralitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka.
Aparatur desa dilarang untuk terlibat dalam politik praktis, baik sebagai pengurus, anggota, kader, aktivis, atau simpatisan partai politik maupun calon pemimpin.
Aparatur desa juga dilarang untuk ikut serta atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Larangan aparatur desa terlibat dalam politik praktis didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:
- Untuk menjaga integritas, kredibilitas, dan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur desa sebagai pelayan publik yang profesional dan netral.
- Untuk mencegah konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, atau pengaruh politik yang dapat merugikan salah satu peserta pemilu atau pilkada, maupun masyarakat desa itu sendiri.
- Untuk menghindari potensi sengketa, konflik, atau kerawanan sosial yang dapat timbul akibat perbedaan pilihan politik di antara aparatur desa, maupun antara aparatur desa dengan masyarakat desa.
- Untuk menjaga stabilitas, harmoni, dan persatuan nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Larangan aparatur desa terlibat dalam politik praktis telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 29 huruf g menyatakan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pasal 29 huruf j menyatakan bahwa kepala desa dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilu dan/atau pilkada. Pasal 51 huruf g menyatakan bahwa perangkat desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pasal 51 huruf j menyatakan bahwa perangkat desa dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilu dan/atau pilkada.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 2 huruf h, i, dan j menyatakan bahwa pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Pasal 280 ayat 3 menyatakan bahwa setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan/atau tim kampanye pemilu. Pasal 282 menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye. Pasal 494 menyatakan bahwa setiap aparatur sipil negara, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota BPD yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pasal 280 ayat 3 dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Pasal 70 ayat 1 huruf c menyatakan bahwa dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan. Pasal 189 menyatakan bahwa calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota yang dengan sengaja melibatkan pejabat badan usaha milik negara, pejabat badan usaha milik daerah, aparatur sipil negara, anggota Polri, anggota TNI, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah serta perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pasal 70 ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta.
Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparatur desa yang terbukti melanggar larangan terlibat dalam politik praktis dapat berupa sanksi administratif, sanksi disiplin, sanksi pidana, atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sanksi tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera, menegakkan hukum, dan menjaga netralitas dan profesionalisme aparatur desa.
Oleh karena itu, aparatur desa harus menghormati dan mematuhi larangan terlibat dalam politik praktis.
Aparatur desa harus fokus pada tugas dan fungsi mereka sebagai pelayan publik yang profesional dan netral.
Aparatur desa harus menjaga jarak dan sikap yang seimbang terhadap semua pihak yang berkepentingan dalam politik. Aparatur desa harus menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat desa dalam berdemokrasi yang sehat, santun, dan beradab. (***)